Apa Hukumnya Merayakan Maulid Nabi ?
APA HUKUMNYA MERAYAKAN MAULID NABI ?
Oleh
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (1173-1250H)
PENDAHULUAN EDITOR
Bismillahi- rahmaani-rahiim
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan, petunjuk dan ampunan serta bertaubat kepada-Nya. Kita memohon perlindungan dari kejahatan diri dan amalan kita kepada-Nya. Sesungguhnya barang siapa yang telah Allah berikan petunjuk, niscaya tidak akan ada yang mampu menyesatkannya, dan barang siapa yang telah Allah sesatkan, niscaya tidak akan ada yang mampu memberikannya petunjuk.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, dan tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya.
Amma ba’du.
Sungguh menuntut ilmu syariat dan berdakwah kepadanya serta mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya, memberikan peringatan kepada kaum muslimin dari perbuatan yang diharamkan dan kemungkaran, dan menjauhkan mereka dari perbuatan bid’ah adalah termasuk dari amar-ma’ruf dan nahi-mungkar. Yang mana Allah telah menjadikan kebaikan bagi ummat ini apabila mereka mau menegakkannya, sebagai mana firman Allah.
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
“Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. [Al-Imron/3 : 110]
Dan dikarenakan isi buku ini membahas satu aspek penting untuk meluruskan gambaran agama Islam dari upacara-upacara yang dinisbahkan kepadanya, yang mendatangkan gambaran buruk akan agama Islam. Sebab setiap orang yang menyaksikan ahli bid’ah dari kalangan sufi sedang melaksanakan acara bid’ah mereka maulid dengan gerak-gerik dan tata cara mereka, niscaya ia akan meyakini bahwa dasar acara ini adalah khurofat dan cerita-cerita palsu.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang menyaksikan mereka sedang melaksanakan acara ini niscaya akan menjauh dari Islam, dan berburuk sangka dengan pemeluknya, terlebih-lebih pada zaman sekarang yang perayaan maulid disiarkan langsung melalui parabola, sebab ia tidak menyaksikan adanya sebuah agama yang hakiki, yang akan mendatangkan kepercayaan pada jiwa, dan membangkitkan semangat beramal dan membantu orang lain.
Dan karena diantara kesempurnaan iman adalah rasa cinta seseorang kepada saudaranya, akan apa yang dicintai untuk ia dapatkan, yaitu dengan cara menjelaskan kebenaran bagi orang yang terperdaya dengan kebatilan dari pemeluk agama ini, dan ini termasuk jihad yang Allah wajibkan kepada pemeluk agama yang Allah jadikan sebagai penutup dari semua agama. Sebab hal ini salah satu kewajiban yang paling wajib, sebagaimana memerangi musuh dengan berperang, maka usaha membersihkan ummat ini dari penyebab kelemahan dan amalan-amalan yang hina merupakan kewajiban yang paling wajib.
Sebab ummat ini tidak akan mampu memerangi musuhnya dengan pedang sehinggga membentengi dirinya dengan benteng yang kokoh dari dalam tubuhnya sendiri, yaitu dengan cara menyebarkan agama Islam yang benar. Dikarenakan membersihkan barisan merupakan salah satu penyebab datangnya kemenangan.
Betapa banyak kita menyaksikan dalam sejarah kelompok ini (kaum sufi) yang dianggap bagian dari Islam padahal bukan, telah mendatangkan bencana dan peperangan dalam tubuh negara Islam sebelum mereka diserang oleh musuh mereka yang sebenarnya. Bahkan sepanjang masa, merekalah yang membukakan jalan bagi musuh untuk masuk kedalam negri kaum muslimin pada berbagai daerah.
Hal ini disebabkan karena agama yang mereka pegangi bertopang dengan kuat pada menuruti syahwat pribadi yang diharamkan dalam Islam, baik itu yang berhubungan dengan makanan, pakaian, wanita atau yang lainnya, dan mereka benar-benar sadar bahwa agama Islam yang sebenarnya sangatlah bertentangan dengan hal ini, kecuali dalam batas yang dihalalkan dalam syariat.
Dan mungkin sekarang ini saya -dan juga yang lainnya- telah melihat bahwa dibawah debu telah terdapat percikan api, hal ini dikarenakan banyaknya perayaan acara bid’ah ini, dan usaha-usaha untuk menghidupkan tempat-tempat jahiliyah pada zaman ini.
Nah karya ini merupakan andil saya dalam menyebar luaskan jawaban bagi pertanyaan yang sering terlintas dalam benak kebanyakan pemeluk agama Islam, terlebih-lebih pada zaman ini, zaman yang banyak sekali perbuatan bid’ah dan telah menyebar dengan cepat sebagaimana menyebarnya api dalam rumput kering. Itu semua disebabkan kebodohan dan kurangnya kesadaran dan rasa cinta untuk tersohor, walau berakibat buruk terhadap agama ini.
Sungguh tersebarnya buku seperti ini telah menjadi ganjalan dalam tenggorokan setiap ahli bid’ah dan orang sufi. Sebuah karya yang dituliskan oleh seorang alim besar, hidup antara abad kedua dan ketiga belas di negri Yaman. Negri yang didoakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan berkah, dan beliau termasuk salah seorang mujtahid dan termasuk salah seorang ulama ummat ini, yang selalu berpegangan dengan dalil.
Kebanyakan kaum muslimin beranggapan bahwa menghukumi perayaan maulid sebagai sebuah kebid’ahan adalah suatu ungkapan yang tidak pernah diucapkan oleh ulama terdahulu, akan tetapi hanya sekedar perkataan ulama-ulama zaman sekarang. Dan juga berprasangka bahwa permasalan ini tidak pernah ada pada pembahasan dan tulisan-tulisan mereka, juga tidak pernah ada pendiskusian argumentasi orang yang membolehkan perayaan ini, dan bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, terlebih-lebih dari ulama seperti Asy-Syaukani rohimahullah, dimana beliau tersohor sebagai seorang yang selalu berpegang teguh dengan dalil, dan berkata-kata penuh dengan kebijaksanaan, dan selalu berlepas diri dari setiap perbuatan bid’ah.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bukti kuat bahwa Asy-Syaukani rahimahullah dan ulama lainnya mencintai kebaikan bagi orang lain, dan membenci sikap ketidak jelasan dalam beramal tanpa adanya dalil.
Sebagaimana yang keadaan kebanyakan orang awam dari kaum muslimin, dan kebanyakan orang yang dianggap berilmu pada kebanyakan negara Islam. Dimana mereka sama sekali tidak memiliki perhatian dengan urusan agama mereka, sehingga mereka terus menerus berada dalam gelapnya kebodohan dan kesesatan. Dan hanya berusaha memuaskan syahawat perut dan birahi, atau hal-hal yang mengarah kepada kedua syahwat ini, dari berbagai macam bentuk nyanyian, musik-musik, dan pergaulan dengan orang yang tidak halal untuk mereka pergauli.
Atau sikap tidak mau tahu dan mengamalkan setiap yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, tanpa memperdulikan tingkat kecocokan amalan tersebut dengan syariat, sebagaimana hal ini terjadi pada saat perayaan acara-acara bid’ah seperti acara maulid dan yang serupa dengannya, sehingga mereka beramal tidak dengan ilmu, dan berkata atas Nama Allah dengan tanpa ilmu.
Oleh karena itu saya sajikan buku ini wahai pembaca yang budiman, dengan penuh harap dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu, agar dijadikan sebagai penyebab yang penuh dengan barokah bagi saya dan ummat Islam dalam meluruskan pemahaman kebanyakan kaum muslimin terhadap acara bid’ah ini. Acara yang hampir-hampir saja menyelimuti seluruh permukaan bumi.
Dan semoga Allah menjadikannya bagian dari timbangan amal baik bagi saya, pengarang, penulis, pembaca, penerbit dan semua orang yang ikut andil dalam penyebarannya. Semoga Allah menjadikan amalan ini benar-benar ikhlas hanya karena-Nya, dan menjadikannya sebagai hal yang akan mendekatkan diri dari kebahagiaan di sisi-Nya di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Semoga Allah meluruskan niat saya dan anak keturunan saya, dan mengaruniai kita ilmu yang bermanfaat, amalan yang sholih yang diterima, dan mengampuni kekhilafan kita, serta merahmati orang-orang yang telah meninggal dari kita, dan mengampuni kedua orang tua saya dan orang tua seluruh kaum muslimin.
Semoga sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi was allam, keluarga, dan sahabatnya.
Ditulis oleh.
Abu Ahmad Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin Hamuud Al Musyaiqih
Al Qoshim-Buraidah
(Semoga Allah melindunginya dari segala kejelekan)
PEMBAHASAN BUKU
Buku ini walaupun ringkas akan tetapi sangat besar sekali manfaatnya, dikarenakan penulisan buku ini pada awalnya tidak dimaksudkan untuk dijadikan sebuah buku, akan tetapi ia merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang datang kepada Al Imam Asy-Sayukany, maka beliau menuliskan jawabannya ini, dan beliau menguatkan jawabannya dengan berkata:
- Saya tidak mendapatkan sebuah dalilpun akan disyariatkannya perayaan ini, baik dalam Al Qur’an atau As-Sunnah atau qiyas atau yang dalil lainnya.
- Beliau menukilkan ijma kaum muslimin bahwa perayaan ini tidak pernah dilaksanakan pada generasi yang paling mulia, generasi sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan juga tidak pada generasi setelahnya.
- Tidak ada seorang ulama-pun yang menukilkan dari ulama sebelumnya bahwa acara ini bukanlah acara bid’ah, bersamaam dengan itu mereka sepakat bahwa setiap perbuatan bid’ah merupakan kesesatan.
- Beliau membantah pendapat orang yang membagi bid’ah menjadi lima hukum, bahwa pembagian ini tidak ada dalilnya dan juga sama sekali tidak beralasan.
- Pengaruh kekuatan para pemimpin dan raja serta kesholihan mereka dalam mengarahkan rakyat menuju kepada jalan selamat dan untuk tidak mengambil pendapat siapapun yang tidak berdasarkan pada dalil.
- Begitu cepatnya amalan bid’ah menyebar pada masyarakat apabila para ulama tidak berjuang menjelaskan akan buruknya amalan bidah, dan menerangkan akan kejahatan para ulama jahat, atau yang kurang ilmunya, dan kejahatan orang yang berusaha mendapatkan kedudukan dunia dalam rangka mengumpulkan harta dengan cara memberikan contoh buruk.
- Perjuangan ahli bid’ah untuk menyebarluaskan kehinaan dan simbol-simbol yang berbau khurofat di tengah-tengah masyarakat, serta mereka akan marah apabila masyarakat enggan untuk menerimanya, sebagaimana diungkapkan oleh pengarang: Masyarakat tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut dijadikan perantara untuk dilakukannya segala bentuk kemungkaran, dan sebagai penghalang bagi setiap orang yang akan mengingkarinya, dan mereka akan melakukan dalam perayaan maulid mereka, yang tidaklah dihadiri kecuali oleh orang-orang rendahan- segala kemungkaran, dengan beralasan : Telah hadir dalam perayan maulid si fulan dan si fulan dan seterusnya.
- Perayaan maulid seperti ini pasti disertai dengan berbagai bentuk kemungkaran dan hal-hal ang diharamkan dalam agama.
- Usaha untuk menutup semua celah yang akan menghantarkan kepada hal-hal yang diharamkan, dan ini merupakan salah satu dari tujuan syariat ini.
- Semua orang yang mengarang buku tentang maulid Nabi tidak mampu mendatangkan satu alasanpun yang berdasarkan kepada dalil yang syar’i dan kuat, bersamaan dengan itu mereka semua mengakui bahwa perayaan maulid adalah sebuah bid’ah, sehingga mereka membikin syarat-syarat yang sangat sulit dalam perayaannya.
KETERANGAN PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID
Para ulama baik yang membolehkan perayaan maulid atau tidak telah sepakat bahwa perayan maulid tidak pernah dilaksanakan oleh salafus sholeh (ulama terdahulu), dan diantara pernyataan mereka :
1. Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim”, hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah dilakukan oleh as-salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama terdahulu) -semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al Misriyah” 1/312.
2. Pernyataan Al- Allamah Al- Imam As Syaikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid”.
3. Beberapa ulama berpegangan dengan pernyataan Al-Fakihany dalam bukunya ini, diantaranya :
a. Al Maliky dalam Hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor As-Syaikh Kholil Al- Maliky”, 7/168, dalam pembahasan Al-Washiyah, beliau menyatakan: “Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al-Fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
b. Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik”, 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata “Kalau Allah menyembuhkan sapi-ku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disunnahkan”.
4. Ungkapkan pengarang kitab “Al Mi’yar Al Maqhrib” dalam nukilannya terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib “Ustadz Abu Abdillah Al-Hiar” terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut adalah Bid’ah, mewakafkan pohon tersebut adalah satu sebab masih berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam ungkapan beliau: “cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama, karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah, sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang, maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak menurut cara yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang dianjurkan dalam syari’at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk mengikut sunnah nabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan mengikuti para salaf sholih karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka”.
5. Ungkapan Syaikh Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syaikh Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: “Sang imam Muhammad bin Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya, yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak pula keterangan dan hujah syar’iyah, karena hal yang demikian adalah menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at penghulu segala rasul (agama Islam)”, di kutip dari “Kumpulan risalah dan masalah para ulama Nejed”, hal: (4 / 440).
6. Jawaban Syaikh Abdur Rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan berkorban, yang mereka sebut “nafilah”, dan apa yang dilakukan pada tanggal 27-Rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut, kemudian amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: “Semua hal tersebut adalah Bid’ah, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata.
“Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini), sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak”.
Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan.
“Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini, sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah itu adalah sesat”.
Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan maulid), tidak pernah disuruh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah disebutkan dalam hadist yang shohih.
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak”.
Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.
Sebagaiman firman Allah Subahanhu wa Ta’ala.
“Apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari’at agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah”. [Asy-Syuura/: 12].
Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih mengetahui”. [Dinukil dari Kumpulan risalah dan masalah para ulama Nejed bagian II. ha l: 4/357-358].
7. Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Latif ketika beliau di tanya tentang hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab : “Perbuatan maulid adalah perbuatan bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan harta untuk perbuatan tersebut adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang melakukannya”. [Dinukil dari “Ad-Durar as-sunniyah”, hal : 7/285].
8. Jawaban Imam Asy-Syatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab : “Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini”. [Dikutip dari Fatwa Asy-Syatiby, no: 203, 204]
9. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam Khadhar Al-Qusyairy dalam kitabnya “As-sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat”, hal : 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul Awal dan bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “Tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul Awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’in serata para ulama yang hidup setelah mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
10. Perkataan Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal”, hal : (2/11, 12) setelah ia menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, sekalipun tidak terdapat dalam pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan bersama saja dengan maksud melaksanakan maulid, bersamaan dengan itu mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam, mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah mengetahui bahwa mengikut mereka dalam segala sumber dan keputusan.
Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al Makky dalam sebuah karangannya sungguh telah disebutkan dalam hadist.
“Artinya :Tidak akan terjadi hari kiamat sampai yang ma’ruf dianggap mungkar dan yang mungkar dianggap ma’ruf”.
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini: mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan, barang siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.
Ibnul Hajj menambahkan lagi : Sebagian penyair telah menceritakan keadaan zaman kita ini dalam syair mereka:
Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka,
Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar,
Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan
Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing,
Anak ku sebagian orang telah menyerupai binatang,
Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat,
Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya,
Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa,
Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia,
Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.
Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, hal: 25 : “Berbagai macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih buhkary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam bentuk yang digambarkan syara (agama)”.
11. Perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “I’lamu Al Muwaaqi’in”, hal: (2/ 390-391). “Jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti perbuatan tersebut tidak ada”.
Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui petunjuk dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta apa yang beliau sampaikan, kalau pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang sama juga, dan seterusnya, maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang yang melakukan bid’ah akan berkata : Dimana anda mengetahui bahwa hal ini tidak dilakukan Rasulullah”.
12. Jawaban Al Hafizh Abu Zur’ah Al-Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulid apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia menjawab: “Memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan”. Lihat Tasyniiful Azan, hal: 136.
13. Fatwa Abu Fahdal Ibnu Hajar Al-Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As-Suyuthy dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid”, di situ Ia katakan: “Asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. Lihat “Al-Hawy lil Fatawa”, hal: 1/196.
14. Fatwa Syaikh Zhohiruddin Ja’far Al Tizmanty tentang hukum maulid: “Melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati dan mencintai nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana kecintaan dan penghormatan salah seorang diantara mereka terhadap nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak terjangkau oleh kita sekarang ini, walau hanya secuil”. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At Thobaahk dan Al Tizmanty oleh pengarang kitab “Subulul huda war rosyad Fi sirah khairil-ibad”, hal: 1/441-442
15. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam menentukan hari lahirnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu Abdillah Al-Hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab Al Mi’aar, hal: 7/100. Yang berbunyi : “Dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama) tidak pernah membedakan antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul Awal, kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari lahirnya nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut.
16. Ditambah lagi dibalik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.
Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab Al-Madkhal, hal: (2/15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: “Yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembira-ria untuk kelahiran nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kaum muslimin itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku”. Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa pun, tanpa meninggalkan kesedihan.
Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan dalam kematian Rasulullah:
Hitam kelam pandangan ku,
Hitam atas kepergian mu,
Ku relakan kematian selain mu,
Kecemasanku hanya atas kepergian mu.
Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut (Rab’iul Awal) jusru mereka bergembira-ria dan berjoget-joget, bukanya menangis dan bersedih kalau ini yang mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya terhapus dosa-dosa mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya. Sedangkan kalau seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan bid’ah, sekalipun bersedih atas kepergian nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib bagi setiap muslim, tetapi bukanlah dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun meneteskan air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih hati saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan, gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahawat dan kesenangannya.
Jika ada yang berpendapat : Saya melakukan malid karena merasa bahagia dan gembira atas kelahiran nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian pada hari yang lain saya khususkan untuk upacara kesedihan atas kematiannya.
Jawabannya adalah :”Telah kita sebutkan di atas seseorang yang mengadakan jamuan makan saja dengan niat maulid dan mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap bid’ah, yaitu suatu pebuatan yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengumpulkan berbagai macam bid’ah dalam sekaligus, terlebih lagi yang melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali yang lain untuk bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid’ah, dan semakin banyak ia mendapat celaan dalam agama. Wallahu ‘alam.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya “Al Maurid fi ‘Amalil Maulida” : Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut”.
Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi kita bahwa salafus sholeh tidak pernah melakuakan maulid nabi, tetapi mereka meninggalkannya, tidak mungkin mereka meninggalkannya kecuali karena hal tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya.
Karena itu dinilai suatu perbuatan terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa yang telah berusaha melarang bid’ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana dalam kitab “Tarikh Al Islam”, hal: (4/181). “Al Afdhal”, semoga Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam memperbaiki keadaan kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, upacara maulid fathimah, upacara maulud Ali, dan upacara maulid khalifah Al qoim biamrillah”.
Sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang -Asy-Syaukany- dalam kitab ini hal: (50). Ketika ia memuji khalifah Al-Mahdy lidinillah bin Abbas Al Mashur, dan menganjurkan khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.
Barang siapa yang dijadikan Allah sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendak jangan sampai melaksanakan bid’ah yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah arab, yang telah bangkit para penegak kebenaran -yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala- untuk memberantas berbagai bentuk kesyirikan dan bid’ah yang tersebar di sana yang telah berlangsung lebih dari dua abat setengah.
Bilamana pemberantasan bid’ah dinilai sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja, sebaliknya membiarkan bid’ah tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya dinilai sebagai kejelekkan yang dimiliki penguasa.
Semoga Alla memberi taufik dan kebaikan kepada kita semua terhadap segala hal yang Ia cintai dan diredhaiNya, salam sejahtera buat nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
KITAB “APA HUKUMNYA MERAYAKAN MAULID NABI ?”
Pertanyaan yang dilontarkan kepada Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani ( 1173-1250H)
Biografi Pengarang.
Namanya : Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Muhammad bin Sholah bin Ibrahim bin Muhammad Al’afif bin Muhammad bin Rizq.
Gelarnya : Asy-Syaukani. Dan dia kenal dengan gelar ini.
Tempat dan tanggal lahir : Beliau lahir di daerah Syaukan pada tahun 1173H.
Guru-guru beliau yang masyhur.
[1]. Gurunya yang paling pertama adalah orang tuanya, beliau membaca kepadanya kitab “Syarh Al-Aazhar” dan yang lain-lain.
[2]. Imam Abdurrahman bin Qosim Al Madani.
[3]. Imam Ahmad bin Aamir Al Hidai.
Dan yang lain-lain.
Tugas/ kerja beliau.
Beliau menjabat sebagai Qhodi di Shan’aa, sementara umurnya diantara tiga atau empat puluh tahun.
Karangan-karangannya:
[1]. As Sailul Al-Jarrar Ala Hada’iq Al Azhar
[2]. Fathu Al-Qodir tentang tafsir Al Qur’an.
[3]. Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al-Haq min ilmi al Ushul
[4]. Nailul Autar syarh Muntaqa Al Akhbar
[5]. Risalah fi Hukmil Maulid.
[6]. Ad Durar Al Bahiyyah dan syarahnya Ad-Darari Al Mudhiyyah. Dan yang lain-lain berupa kitab-kitab yang bermanfaat.
Wafatnya.
Beliau meninggal pada bulan Jumadil akhir pada tahun 1250 H, dan dikebumikan di Al Huzaimah.
Bukti Kebenaran Kitab Ini Milik Pengarang.
Pertama: Beliau menisbatkan kitab ini kapada dirinya didalam kitab “Al-Badru Ath-Thooli” (2/221) takkala berbicara tentang karya-karya beliau, sambil berkata : dan “risalah tentang hukum maulid”.
Kedua: Didapatkan pada lembaran pertama dari manuskrif ini, kumpulan dengan nomor : (7800) yang mencakup 23 manuskrif, semuanya milik pengarang yang terdapat di Universitas Malik Su’ud di Riyad.
Ketiga: Pengarang menutup manuskrif ini dengan perkataannya: “Ditulis oleh yang menjawab Muhammad bin Ali Asy-Syaukani”.
Keempat: Pengarang memuji dan mencela dua orang yang hidup semasa dengan belia, yaitu : Al Imam Al Mahdi Lidinillah Al-‘Abbas bin Al Manshur,(yang dipuji) dan anaknya : Al Imam Al Manshur Billah (yang dicela). Lihat biografi mereka berdua halaman (50 dan 51).
Kelima: Risalah ini bersamaan dengan risalah yang lain yang milik beliau juga dengan judul: “Ithla ‘Arbabi Al Kamal Ala Risalti Al Jalal Fi Al Hilal Fi Ikhtilal”. Dan risalah ini ada namanya di “Al Badru Ath-Tholi” (2/220).
Sifat Dari Manuskrif Ini:
Manuskrif ini terdapat dalam kumpulan yang mencakup 23 risalah, seluruhnya milik As Syaukani, pada setiap halaman jumlah barisnya sampai 33 baris, dan jumlah kalimatnya 14 kalimat, tulisannya naskh bagus dan jelas, dan tidak ada yang terhapus keculai tiga kalimat disebabkan oleh kelembaban dan lain-lain. Dan manuskrif ini diawalnya terdapat Risalah yang lain dan diakhirnya risalah yang ketiga dengan judul: “Ithla-Arbabi Al Kamal Ala Risalti Al Jalal Fi Al Hilal Fi Ikhtilal”.
Kerja Saya (Pentahqiq) Dalam Risalah ini.
[1]. Menulisnya, memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki dan memberi tanda baca.
[2]. Mengomentari sebagian permasalahan.
[3]. Menulis biografi nama-nama yang terdapat dalam risalah ini.
Judul Risalah:
Saya pilih judul risalah ini sesuai dengan yang ditulis oleh pengarang didalam kitab “Al-Badru Ath-Tholi” (2/221) yaitu “Risalah Tentang Hukum Maulid”. Dan apa yang didapatkan pada lembaran pertama tentang judul-judul manuskrif-manuskrif yang ada bersama kumpulan ini kemungkinan ijtihad para penulis. Dan semoga Allah memberikan taufiqNya.
Kandungan buku
RISALAH TENTANG HUKUM MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Beliau-rahimahullah- telah ditanya tentang hukum maulid:
Maka dia menjawab: Saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi) didalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal yang menjelaskan landasan amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah sepakat, bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa qurun yang terbaik (para shahabat, pent), juga orang yang datang sesudah mereka (para tabi’in) dan yang datang sesudah mereka (tabi’-tabi’in). Dan mereka juga sepakat bahwa yang pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan Al Muzhaffar abu Sa’id Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil dan yang membangun mesjid Al-Muzhaffari di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh ratusan, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan bid’ah.
Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang memperhatikan (para pembaca) bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut setelah dia mengakuinya sebagai bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat, berdasarkan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah dia (yang membolehkan maulid) mengatakan kecuali apa yang bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan tidak ada tempat dia berpegang kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi bid’ah tersebut kepada beberapa macam, yang sama sekali tidak berlandasakan kepada ilmu.
Dan kesimpulannya kita tidak bisa menerima dari seseorang yang mengatakan bolehnya suatu amalan kecuali setelah dia sebutkan argumentasi yang mengkhususkan bid’ah yang dilakukannya tersebut keluar dari keumuman (hadits yang mengatakan : Setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat, pent) yang tidak dia ingkari, adapun semata-mata ungkapan yang mengatakan “kata si fulan atau pendapat si fulan”, ini sama sekali tidak bermanfaat, sebab kebenaran itu lebih besar (agung) dari setiap orang, dan jikalau seandainya kita percaya (berpegang) kepada perkatan manusia dan kembali berpegang kepada omongan belaka, tiada lain orang yang membolehkan bid’ah tersebut keculai orang yang menyimpang dari jalan kaum muslimin.
Adapun al-atirah (para keluarga rasulullah) dan para pengikutnya tidak kita temukan satu perkataan pun dari mereka yang membolehkan maulid tersebut, bahkan perkataan mereka seakan sepakat mengatakan: bid’ah ini muncul jauh dibelakangan hari, dan ia merupakan sarana yang paling jelek untuk timbulnya kerusakan (kemungkaran), oleh karena itu kamu melihat negeri ini (Yaman) bersih dari segala tipu daya orang-orang sufi, dan mulid nabi ini merupakan salah satu dari tipu daya mereka -Alhamdulillah-, dan khalifah yang terakhir yang membela (memperjuangkan) yang demikian itu adalah al Mahdi Lidinillah Al-Abbas bin Al Manshur, sesungguhnya dia telah melarang perayaan mulid dan memerintahkan untuk penghancuran sebagian kuburan yang diyakini oleh orang-orang awan, semoga Allah Ta’ala memberikan ilham (taufig) kepada khalifah kita sekarang Al-Manshur Billah -semogah Allah memeliharanya- untuk mengikuti as salafus sholeh (para shahabat, tabi’in, tabi’-tabi’in dan yang mengikuti jejak mereka, pent). Karena permasalahannya sebagaimana yang ungkapkan dalam gubahan berikut ini:
Saya melihat kilatan bara api dicela-cela abu
Hampir saja bara tersebut akan menyala.
Bertebarnya bid’ah itu lebih cepat dari menyebarnya api, betapa lagi bid’ah maulid, karena diri orang yang awam sangat menyukainya (merindukanya), ditambah lagi jikalau yang hadir bersama mereka orang-orang yang berilmu, terhormat dan yang berpangkat, sesudah itu mereka (orang yang awam) akan memahami bahwasanya “perbuatan ini (maulid) merupakan tujuan dan bukanlah suatu bid’ah”, sebagaimana yang diungkapkan dalam gubahan ini:
Orang yang berilmu yang tidak peduli dengan kesalahannya adalah kerusakan yang besar
Dan lebih rusak lagi orang yang bodoh yang banyak beribadah
Keduanya merupakan fitnah yang besar bagi alam ini
Bagi orang yang menjadikan mereka panutan didalam agamanya
Dan tidak diragukan lagi bahwasanya masyarakat awam merupakan orang yang paling cepat menerima segala bentuk sarana yang membawa kepada kerusakan, yang bisa mereka dengan sarana tersebut melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti maulid dan semisalnya, apalagi jika ditambah dengan kehadiran orang yang yang dikenal keilmuan, kehormatan dan kedudukannya, mereka melakukan yang terlarang dengan bentuk ketaatan, tenggelam dalam jurang kebodohan dan kesesatan, sehingga mereka (orang awam) akan berlepas diri dari pelarangan sambil berkata: “Telah hadir bersama kami sayyid (tuan) si fulan, si fulan dan si fulan”.
Jangankan orang yang awam, sebagian orang yang menuntut ilmupun juga telah duduk didepan saya untuk membaca (mempelajari) sebagian dari ilmu-ilmu ijtihad, lalu dia memberitahukan kepada saya : “Bahwa dia telah hadir pada malan perayaan maulid tersebut, pada bulan ini (Rabiul Awwal, pent)”, maka saya ingkari perbuatannya, lantas dia berkata : “Telah hadir bersama kami tuan si fulan, si fulan dan si fulan”, lalu saya bertanya : “Bagaimana bentuk pelaksanaannya didepan mereka para tuan itu”, maka dia menjawab: Yang membaca maulid tersebut seorang laki-laki yang bodoh, sementara para tuan-tuan tersebut memukul gendang sambil menyanyi dan mendengarkannya, sampai dia berdiri seolah-olah lepas dari ikatan sambil mengucapkan : “Selamat datang wahai cahaya mataku, selamat datang”, dan berdiri pula bersamanya seluruh yang hadir termasuk para tuan tersebut dan yang lainnya, lalu dia bersuara sambil berdiri, begitu juga mereka yang hadir, tatkala capek sebagian yang hadir lalu dia duduk, lalu sebagian para tuan tersebut melarangnya sambil berkata yang dimukanya terlihat kemarahan : “Berdiri wahai si bodoh”, (dengan lafazd seperti ini), dan mereka tidak ragu lagi bahwasanya Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah sampai kepada mereka pada waktu itu, kemudian mereka saling bersalaman dan sebagian orang yang awam dengan segera memberikan bermacam-macam wangian ketangan mereka, seolah-olah mereka sedang mempergunakan kesempatan bertemu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallm, innalillahi wainnailaihi raji’un !! lalu mana kehormatan (kemuliaan) agama ini ?, jikalau sudah hilang, mana rasa malu dan akal yang sehat ?.
Seandainya tidak ada terjadi dihadapan mereka para tuan tersebut satupun dari bentuk kemungkaran, -sabagaimana persangkaan baik kita terhadap mereka,- tapi apakah mereka tidak tahu bahwa orang awam menjadikan yang demikian itu sebagai sarana untuk kemungkaran, menutupi dengan kehadiran mereka segala bentuk kemungkaran, melakukan pada perayaan maulid mereka- yang tidak dihadirinya- setiap kemungkaran, sambil berkata : Telah hadir dalam perayaan maulid sipulan, sipulan dan sipulan, mereka berpegang dengan nama maulid.
Maka disini jelaslah bagimu rusaknya I’tidzar (dalil) sebagian orang yang membolehkannya dengan alasan “Apabilah tidak terjadi dalam perayaan tersebut kecuali berkumpul untuk makan dan dzikir, maka tidak apa-apa, dan ini tidak mengharuskan haramnya hal-hal yang terlarang yang menyertai maulid tersebut”.
Karena kita katakan : Perayaan maulid dalam posisinya sebagai bid’ah -sesuai dengan pengakuanmu- biasanya disertai dengan banyak bentuk kemungkaran dan sudah menjadi sarana untuk melakukan kemaksiatan yang banyak. Dan adanya perayaan maulid seperti ini yang tidak mencakup selain makanan dan dzikir labih baik dari kibriit (permata) yang merah.
Dan telah tetap bahwa “saddudz dzarai” (menutupi jalan-jalan)) dan melarang seluruh sarana yang menjurus kepada sesuatu yang terlarang merupakan kaidah Syariat yang amat penting, yang dianggap wajib oleh para jumhur (ulama). Dan jikalau seandainya masih ada dalam dirimu rasa inshof janganlah kamu ingkari permasalahan ini.
Dan jika telah jelas bagi anda bahwa tiada seorangpun dari ahli bait dan para pengikut mereka yang membolehkan perayaan Maulid, dan anda ingin juga mengetahui pendapat ulama selain ahli bait, maka keterangannya sebagai berikut :
Kami telah jelaskan pada anda bahwa semua kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya ia adalah bid’ah, hanya saja para penguasa berpengaruh besar dalam menghidupkan bid’ah atau menghancurkannya. Maka tatkala sang pencetus perbuatan bid’ah ini adalah seorang raja yaitu saaidah bin dihyah (), dimana beliau menyusun sebuah karangan dalam masalah itu yang dinamakannya :
“Penjelasan Gamlang Tentang Maulid Sang Pemberi Kabar Gembira Dan Penakut”, meskipun beliau ahli dalam masalah ilmu hadits, tetapi kitab tersebut kosong dari dalil-dalil yang kuat, tidak dapat diingkari, ia membolehkan nya dengan imbalan seribu dinar “sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Khallakaan” dan cinta dunia, bisa berbuat lebih dari ini.
Kemudian setelah terjadi perayaan maulid ini, tegaklah perselisihan yang besar, dan bermunculanlah karangan-karangan tentang masalah ini, antara yang melarang dan yang membolehkan, diantara pengarang-pengarang tersebut ialah Alfakihany Almaliky menulis sebuah kitab yang berjudul : “Pendapat Yang Mendasar Dalam Pelaksanaan Maulid” di dalamnya beliau mencela dan mencaci, dan diantara gubahan dalam kitab itu yang ditujukan kepada gurunya Al-Qusyairy:
Kemunkaran telah dianggap baik.
Dan kebaikan menjadi munkar di zaman yang pelik.
Para ulama tak bernilai lagi.
Sedangkan orang-orang bodoh mendapat kedudukan tinggi
Mereka menyeleweng dari kebenaran.
Dulunya pemimpin-pemimpin mereka tak diperhatikan
Maka kukatakan kepada orang-orang baik lagi bertaqwa
Dan beragama, tatkala memuncaknya kesedihan
Janganlah kalian menyesali keadaan, telah tiba
Giliran mu pada masa yang asing.
Kemudian juga Al-Imam Abdillah bin Al-Haaj dengan nama kitabnya : “Pintu Masuk Dalam Mengamalkan Maulid”, dan Imam Ahli Qiro-at Al-Jazary dengan nama kitabnya: “Pengenalan Terhadap Maulid Yang Mulia”, dan juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir () dengan kitabnya: “Sumber Utama Dalam Pelaksanaan Maulid Sang Pembawa Petunjuk”, dan Imam Suyuthi dengan kitabnya : “Tujuan Yang Baik Dalam Melaksanakan Maulid”, diantara mereka ada yang benar-benar tidak membolehkan, dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat kalau tidak dicampuri oleh hal-hal yang munkar, meskipun mereka mengakui bahwasanya itu merupakan perbuatan bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat, adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dikala sampai di Madinah beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyura, lalu beliau menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar (), atau dengan hadits bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah kenabian (), sebagaimana yang dilakukan Suyuthi, ini merupakan suatu yang sangat aneh dimana itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan bid’ah.
Walhasil bahwa sesungguhnya orang-orang yang membolehkan “yang mereka itu segelintir kalau dibandingkan dengan orang-orang yang mengharamkan” mereka sepakat bahwasanya tidak boleh kecuali dengan syarat hanya untuk makan-makan dan berdzikir. Telah kita jelaskan bahwasanya ia sudah menjadi wacana untuk hal-hal yang munkar. Hal ini tidak satu pun yang bisa mengingkarinya. Dan adapun peringatan maulid seperti ini yang terjadi sekarang semuanya bersepakat bahwa ia tidak boleh. Rasanya semua ini sudah cukup bagi kita, meskipun semestinya membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, membeberkan pendapat-pendapat orang yang membolehkan kemudian dibantah, hal yang demikian tentu akan menghasilkan beberapa buah buku. Dan Allah tentu akan mengilhamkan kepada salah seorang petinggi negara untuk mencegah perbuatan ini, maka ia akan mudah dikikis habis, yaitu dengan mencegah generasi yang akan diajak untuk melakukan perayaan maulid serta mengecamnya. Cara seperti ini bisa dilakukan oleh setiap orang.
Adapun pertanyaan anda tentang kejadian besar yang terjadi di Qotor Tuhamy, di mana mereka menghiasi batu-batu, lalu mereka tawaf di sekelilingnya, sebagai mana tawaf di sekeliling Ka’bah, telah sampai kepada orang yang mencintai anda -yaitu pengarang (pent)- pertanyaan sebagian pemuka penduduk Tuhamah, yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Ahmad An-Nu’amy, pertanyaan itu telah saya jawab dengan panjang lebar, maka bacalah ia kalau memungkinkan, dan pertanyaan itu memuat keyakinan mereka terhadap orang-orang yang telah mati, dan batu-batu itu, bahwasanya dia dapat memberikan mudharat dan manfaat, hal ini adalah perbuatan kufur () yang tidak diragukan lagi, bahkan ia lebih dari kekufuran penyembah-penyembah berhala dulu, karena orang-orang itu berkata: kami mengibadati berhala-berhala itu agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sedangkan mereka ini berkata: kami ibadati mereka supaya dapat memberikan mudharat dan manfaat, maka musibah mana yang lebih keji dari pada kekufuran, dan kemungkaran mana yang lebih dahsyat dari nya ?! dan bagaimana bisa orang yang sanggup untuk melaksanakan perintah-perintah beranggapan bahwasanya ia termasuk orang-orang yang beriman, sedangkan saudara-saudara sesama muslim telah terjerumus kedalam kekufuran yang nyata ? Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun, dan semoga Allah merahmati Al-Mahdy lidinillah Al-Abbas bin Mansur Beliau telah berusaha menghancurkan kemungkaran di setiap tempat, dan semoga Allah mengilhami pemimpin zaman sekarang untuk melakukan kewajiban yang sangat penting ini.
Sebagai kesimpulan, tidak ada seorangpun yang membutuhkan dalil tentang jeleknya amalan ini, tiada seorang muslimpun yang ragu akan kufurnya perbuatan ini, dan tiada seorangpun yang menyelisihi tentang buruknya kekufuran, Al-Qur’an dan sunnah penuh oleh dalil-dalil yang menetapkan jeleknya kekufuran, yang membeberkan kepada orang kafir apa-apa yang mereka yakini. Siapa yang membaca satu lembar saja dari Al-Quran niscaya ia akan menemukan dalil-dalil tentang tauhid, dan tentang jeleknya syirik dan kufur, apa yang membuatnya puas dan merasa cukup, maka tidak akan ada faedahnya kalau kita berpanjang lebar, jikalau ada orang yang ingin menyebutkan secara detil dalil-dalil tentang itu baik naql ataupun akal, pasti akan mengeluarkan kitab yang berjilid-jilid.
Ya Allah sesungguh Engkau mengetahui bahwa kemampuan kami terbatas untuk melawan kerusakan-kerusakan ini dan menghancurkan kemungkaran-kemungkaran ini, tidaklah ada yang bisa kami lakukan kecuali hanya memberi peringatan dan menyampaikan, dan itu telah kami lakukan. Ya Allah turunkan murka Mu karena agama Mu, dan sucikanlah ia dari noda-noda para syetan yaitu mereka-mereka yang menyembah kubur, dan selamatkanlah kami dari kotoran-kotoran yang mengeruhkan kesucian agama yang kokoh ini.
Ditulis oleh penjawab Muhammad bin Ali Ays-Syaukany pada subuh hari kamis Bulan Rabiul awwal 1306 H.
Tamat
[Disalin dari buku “Maa hukmul Ihtifal bi maulidin Naby”, ditulis oleh Imam Syaukani, editor Abu Ahmad Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin Hamuud Al Musyaiqih, diterjemahkan oleh Ali Musri Lc, Aspri Rahmat Lc, Arifin Badri Lc, dan M. Nur Ihsan Lc.]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/273-apa-hukumnya-merayakan-maulid-nabi.html